Dilema, Mengkonstruksi Daya Pikir Individu, Bangsa, dan Agama.
Oleh: Mabruroh
“Tidaklah
menimpa seorang muslim suatu bencana, hingga walaupun hanya tertusuk duri, melainkan baginya salah satu dari dua kondisi“.
Begitulah sebuah hadits yang memberi tantangan atas pertanyaan segelintir
manusia yang terus menerus hanyut dalam kesedihan, kegelisahan, sampai manusia
tersebut secara penuh meyakini hal- hal tersebut adalah candu bagi mereka. Hal
ini tentu mendilema bagi manusia yang berperan secara penuh dalam kehidupan
ini, yang secara vital menghidupi diri dengan kondisi- kondisi yang tidak
menentu, melacurkan diri , menerpa diri dengan hal- hal yang tdak dapat
dipungkiri.
Baru-
baru ini dialami oleh orang- orang disekitar penulis, utamanya dialami oleh pemuda-
pemudi yang secara tidak langsung teindikasi meraih prestasi diri dengan
mendilemakan diri. Banyak dari mereka yang berjuang antara hidup dan matinya
memperjuangkan cinta yang dimiliki untuk
pasangannya yang tak jarang dengan seseringkali merintih kehabisan air mata,
sebagian pula kebingungan dalam memperjuangkan prestasi, keluarga, hidup, dan
segala hal . Akibatnya tidak bisa ditampik
bahwa kesemuanya itu merupakan misteri bagi siapa saja, tak jarang muncul statemen- statemen yang beragam, dimana mereka menciptakan orientasi dilemma
dengan menganggap sah- sah saja dalam posisi yang sedemikian rupa, bahkan tak
sedikit yang kecewa begitu mendalam atas posisi yang dialaminya.
Sehubungan
dengan hal- hal tadi, bicara mengenai dilema yang terjadi dalam masing masing
jiwa seseorang, juga tak kalah menarik jika membaca apa- apa yang terjadi pada sebuah
bangsa ini. Pergerakan yang begitu dinamis, dengan permasalahan- permasalahan
yang kini kian ramai dibicarakan menunjukkan bahwa negeri ini masih hidup dan
bernafas. Begitulah yang terjadi pada kehidupan
di Indonesia. Namun begitu sayangnya ketika kita menyoroti, kedinamisan yang
terjadi bukanlah menuju pada wacana kehidupan yang lebih baik, namun malah
membuat dilema semakin melingkupi berbagai elemen yang akhirnya diam membungkam
dan tak berdaya dan lemah.
Pada kenyataannya
dapat dibuktikan bahwa hingga saat ini perubahan perubahan signifikan belum
mampu dirasakan dapat membawa perubahan kepada masyarakat untuk hidup lebih
sejahtera. Para penguasa yang cenderung bungkam terhadap kebenaran kebenaran
yang harus diungkap dan masyarakat yang terbagi dalam beberapa kelompok antara
mereka yang memilih diam, mereka yang mudah dimobilisasi untuk kepentingan
sekelompok orang, maupun mereka yang benar-benar bisa menilai dari dua kacamata
yang berbeda, semuanya berjalan sporadis tak dapat seiring dan menyatukan
langkah. Semua hal tersebut, apabila dibiarkan berjalan masing masing tidak
akan membawa Indonesia kedalam perubahan yang lebih baik dan harmonis.
Kecenderungan ini
terjadi sangat signifikan perannya di berbagai kelompok- kelompok, ormawa di kampus maupun
luar kampus Indonesia, yang selalu mementingkan orientasi dan ideologi masing-
masing dengan melepas tanggung jawab secara khidmat dengan hanya menuntut dan
menyalahkan pemerintah, tanpa dikondisikan lagi bahwa hal tersebut merupakan
budaya yang buruk apabila diteruskan. Hal ini tentunya melingkupi dalam jiwa
sebagian organisasi- organisasi maupun kelompok- kelompok yang semangat
mengkulturisasi diri tanpa adanya integrasi dan progress bagi bangsa. Bagaiman
tidak dipenuhi lautan kekecewaan Sedang dalam diri mereka sendiri tidak ada
upaya untuk melakukan instrospeksi dan berjuang mandiri. Posisi seperti ini
secara tidak langsung memproklamirkan dukungan terhadap pemerintah sulit untuk
merealisasikan kebijakan apabila masyarakat selalu bersikap seperti itu. Orang
yang berfikiran sempit akan selalu menciptakan halangan-halangan untuk
perubahan dengan alasan untuk kebaikan menurut versi mereka sendiri.
mebaca hal- hal
yang masih bersinergi bagi sebuah bangsa, muncullah statemen- statemen tentang
agama yang kini dilirik banyak orang di Indonesia. Utamanya bagi wilayah yang
tersentuh langsung – Jakarta- untuk mengulik pikiran dan hatinya, ikut serta
dalam memperjuangkan agamanya. Dimana isu- isu dan kenyataan yang semarak terjadi
dilapangan membuat geram para praktisi agama islam -tentunya- dalam menentukan
pilihannya. Bagaiamana agama harus dipandang secara berkala dan secara kuat.
Serentak hal ini membuat dilema para tokoh dan masyarakat yang berkali- kali
memperjuangkan diri sebagai agama yang sakral –secara mutak- dan tidak harus
dilecehkan. Sedemikian kuatnya membuat pertanyaan yang cukyup mengambang memikirkan
bangsa seketika memposisika diri secara langsung dalam memilih, menunjuk seorang
pemimpin yang islami atau yang agamis kah? Ternyata dilema ini begitu menjerat
umat islam disoroti oleh seluruh masyarakat di Indonesia untuk menentukan
pemimpin tanpa sedikitpun ada yang dilecehkan bahkan melecehkan. Akibatnya tren
topic bermunculan dimana- mana bahwa karakter pejuang yang dimiliki bangsa ini
mengalami degradasi yang tajam, budi luhur yang dimiliki semakin lama semakin
memudar digantikan dengan kebungkaman terhadap setiap kebenaran yang harus
diungkap yang akhirnya menimbulkan lebam dalam kulit bangsa yang tidak bisa
dibiarkan.
Dari kesemuanya
ini, tidaklah menjadikan generasi yang ganjil ini, “hidup diantara tertidur dan
terjaga”. Didalam tangannya, mereka menggenggam tanah masa lalu dan buih- buih
masa depan. Ungkapan khalil gibran yang semestinya menuntut kita para generasi
penerus bangsa untuk terus berfikir,mengkritisi zaman serta memposisikan diri.
Tidak ada peradaban yang menimbulkan kenyamanan kecuali terhadap
ketidaknyamanan yang mampu kita kelola dengan baik. Menjadi generasi seperti
apa kita seharusnya adalah sebuah pilihan yang kita ciptakan melalui konstruksi
yang ada dalam fikiran kita.
Jelaslah disini
islam menunjukkan bahwa konklusi antara kesenangan dan kesusahan, keindahan dan
kesedihan yang kerap menerpa manusia lebih mendalam dari apa yang telah dialami
manusia itu sendiri di dunia, seringkali kesulitan hidup yang mendilema ini
dihadapi dengan respon tubuh dan pikiran yang progresif, menunjukkan
orientasinya untuk tidak terkekang dari ambang- ambang. Sungguhpun bagi
penderita dilematik itu haruslah mendedikasikan diri secara pribadi untuk
mengimani –percaya- bahwa apa yang telah
disebutkan akan menjadikan dirinya untuk membuka peluang dalam menerapkan islam
dalam seluruh aspek kehidupan, sebagai strategi yang mumpuni untuk
merealisasikan kebaikan terhadap dirinya, bangsanya dan dunianya,. Menentukan
sikap adalah prioritas bahwa sukses dalam kesabaran yang mendilema dan
menyulitkan itu lebih besar kebaikannya dari pada yang didapatkan ketika dalam
kondisi kesenangan dan sedang menguntungkan.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar sesuai topik yang dibicarakan, gunakan kata-kata yang baik dan tidak mengandung sara, p*rn*gr*fi, dan sebagainya. Setiap komentar yang anda kirimkan akan sangat berharga bagi kami. Terimakasih!