Tulisan Terpilih Peserta Workshop Literasi Dalam Rangka Anniversary Fradiksi yang ke-9

Pada tanggal 26 Oktober 2022, Fradiksi IAIN Madura menggelar acara _Closing Ceremony_ sekaligus Workshop Literasi dalam Rangka _Anniversary 9ᵗʰ_ Fradiksi IAIN Madura. Setelah acara seremonial, acara dialihkan ke workshop literasi dengan pemaparan materi dan sesi pelatihan. Dimoderatori oleh Siti Ladida (Demisioner Fradikisi Tahun 2018) dan Lilik Rosida Irmawati (Pegiat Literasi dan Pendiri Rumah Literasi Sumenep) sebagai pemateri. 

Tema yang diusung dalam acara workshop literasi tersebut yaitu, "Penulisan Kreatif Karya Fiksi; Cerpen Tiga Paragraf". Terdapat sekitar 50 peserta workshop yang mengikuti pelatihan. Beberapa hasil tulisan peserta sudah diseleksi oleh panitia pelaksana sebagai tulisan terpilih. Merupakan suatu hal baru dalam sejarah fradiksi, untuk pertama kalinya mengadakan workshop. Perlu diacungi jempol, tulisan peserta bagus-bagus. Berikut beberapa tulisan terpilih peserta workshop literasi.


1. AKU INGIN SEPERTI MEREKA 

Karya : Alya Munawwaroh 

Setiap pagi Leni duduk sendiri di halaman belakang rumahnya meratapi kehidupannya yang seolah sempurna, indah tanpa celah. Leni mencoba memaknai setiap kehidupan yang tampak di depan matanya. Leni merupakan anak tunggal dari saudagar kaya. Sudah tentu segala kebutuhan dan keperluan Leni dapat tercukupi dengan baik. 

Layaknya metamorfosis kupu-kupu, kehidupan akan berganti dan berubah. Entah seperti apa nanti akhir ceritanya, semua orang pasti menginginkan hal-hal yang membahagiakan. Orang tua Leni begitu menyayangi dan mengasihi Leni. Wajar jika teman-temannya ingin berada di posisi Leni. Kasih sayang orang tua didapatkannya, begitupun materi yang berlimpah ruah. 

  “Apa semua ini membuatku bahagia? Ayah, Ibu, Leni justru lebih iri pada mereka yang lincah dan bebas.” tulis Leni pada buku catatan hariannya. “Len, mari masuk, Nak. Kita sarapan” Sungguh romantis cinta sang ayah, mengecup kening Leni, lalu membawa Leni masuk kembali ke dalam rumah dengan dibantu kursi roda. Tanpa sadar buliran air mata jatuh di pipinya. Leni teringat teman-temannya dan membatin, “Apalah daya aku yang lumpuh hanya duduk merenung di sini. Aku ingin bermain dan belajar bersama mereka”. 


2. BURONAN GANTENG 

Karya : Anisa 

Dahulu, Bapak banyak sekali yang mengejar. Padahal zaman Corona masih belum ada, tetapi Bapak selalu siaga dengan masker hitamnya. Parasnya memang face Asia sekali. Terlebih matanya yang tajam dan alisnya yang tebal. Barangkali hal tersebut yang menyebabkannya selalu dikejar-kejar. 

“Ini foto Bapak tahun 2000, 2002, dan yang ini 2003” jelasnya seraya menunjuk-nunjuk album foto yang sedang kupangku. Namun, berkali-kali kumintai Bapak keterangan mengenai kosongnya album foto bapak pada tahun 2001. Ia hanya menjawabnya begini, “Dahulu, Bapak tampan dan selalu dikejar-kejar orang” ujarnya untuk kesekian kali. Aku membatin, “ Tidak masuk akal”. 

Bapak pun beranjak, kulanjutkan membenahi laci lemari rumah lamaku dan menemukan kliping koran. Kukibaskan koran tersebut berusaha menghilangkan debu-debu yang mengubah warna asal koran. Alangkah terkejutnya saat aku melihat dan membaca headline beritanya. Terpampang foto Bapakku pada tahun 2001 dengan narasi “Pencuri ayam pasar sudah tertangkap”. 


3. PERTEMUAN YANG TIDAK DIHARAPKAN 

Karya : Alfiyana Firdausiyah

Pagi yang cerah, Aku berangkat dari rumah dengan tenang tanpa terbesit firasat buruk apapun. Berbekal restu ibu, Aku menyalakan motorku dan memulai perjalanan menuju kampus. Seperti biasa, dengan riang sembari bersenandung kecil aku menyusuri aspal hitam yang membentang. 

Tiba di perkotaan, jalanan ramai sekali dengan aktivitas manusia dan kendaraan yang berlalu lalang menuju tujuan masing-masing. Aku masih biasa-biasa saja dan cukup menikmati perjalanan tanpa memikirkan sesuatu hal yang akan terjadi setelahnya. 

Melewati di perempatan jalan, aku dikejutkan dengan bunyi peluit panjang nan nyaring. Aku diberhentikan oleh seorang polisi yang tampangnya gembul dan lucu. Memasang wajah polos, aku belum menyadari kesalahanku. Ternyata, aku tidak sengaja menerobos lampu merah. 


4. KAKEK DAN GEROBAK HARAPANNYA 

Karya : Aprilliana Nurmala Sari 

Pagi ini aku berangkat menuju ke sekolah diantar oleh Pak Agus sopir keluargaku. Langit tampak murung, mulai berkaca-kaca. Lihatlah, gerimis bercucuran membasahi jalanan dan mobilku. Kulihat para pengendara motor berhenti di depan ruko-ruko yang masih tutup untuk berteduh. 

Mobilku berhenti ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. Kuamati setiap orang yang sedang berteduh di pinggir jalan depan ruko. Seketika, mataku tertuju pada seorang kakek tua di tengah guyuran hujan sedang mendorong gerobak usangnya yang berisikan sampah. “Apa kakek itu tidak merasa lelah?” gumamku membayangkan betapa lelah dan kedinginan kakek itu.  

Terlihat sang kakek menghampiri anak kecil perempuan depan ruko seraya memeluknya memberikan kehangatan. Tidak ada raut wajah yang lelah. Hanya senyum dan elusan di kepala anak kecil perempuan itu yang kakek berikan. Ternyata sang cucu menanti makanan dari kakek, “Kek, mana makanannya?” ucapnya memelas. Kakek meneguk ludah dan berusaha tegar, “Maaf, ya, Cu. Masih terlalu pagi, mungkin nanti siang kita bisa dapat makanan sisa seperti kemarin” Air mata sang kakek melebur bersama air hujan.


5. ANGKUTAN UMUM

Karya : Imamul Khair 

Mataku terbuka, melihat alam diiringi kicauan burung yang merdu. Kusegeragakan bersiap dan bergegas melangkahkan kaki hingga ke depan gang. Naas, pagi itu aku kesiangan. Sepertinya kalau harus berangkat ke kampus dengan jalan kaki, mungkin aku akan telat 30 menit, sementara hari ini adalah jadwal mata kuliah dengan dosen pengampu yang sangat disiplin dan tidak bisa menerima alasan apapun jika mahasiswanya terlambat. Kendaraan adalah pilihan utama. Aku harus naik kendaraan. 

Jarum jam tanganku terus berputar, aku berjalan cepat menyusuri trotoar dengan harapan ada angkutan umum atau setidaknya pengendara yang mau memberikanku tumpangan. Keringat mulai menyebar ke seluruh tubuhku. Perasaan cemas dan khawatir jika aku benar-benar terlambat tiba di kampus. Tak lama, bus mini merah yang tampak sudah karatan dan tua melaju pelan melewatiku dengan bunyi mesin yang amat kasar dan mengganggu pendengaranku. “Hei, tunggu, Pak. Tolong saya” teriakku melambaikan tangan. 

Sopir bus yang baik. Kini aku berada dalam bus. Bermacam-macam aroma tercium oleh hidungku. Penumpang bus ini sepertinya khusus. Pedagang ikan, hewan ternak, barang dagangan seperti sayur, dan barang pasar lainnya. Semua penumpang dalam bus itu memandangku aneh. Aku dibuat kikuk oleh mereka hingga beberapa detik aku baru sadar bahwa hanya aku yang berbeda dalam bus itu. Pakaian mereka biasa-biasa saja, celana pendek, daster, bahkan ada yang kotor dan lusuh. Sementara aku berbaju rapi, berdasi, dan tampilan klimis. Aku menyeringai sembari menggaruk tengkuk leherku yang tidak gatal. 


6. BUS JURUSAN CINTA 

Karya : Riayatul Masiyah 

Hendak masuk ke dalam bus, tidak sengaja seorang laki-laki menyenggol tubuh Riana hingga terjatuh. Laki-laki itu meminta maaf seraya membantu Riana bangun dan membereskan barang-barangnya. Laki-laki itu memperkenalkan diri pada Riana yang mulai memasuki bus dan mencari kursi yang kosong. “Kenalin, aku Hendri” tersenyum menyodorkan tangan.  “Riana” tampak kikuk menjabat tangan laki-laki itu. Dua kursi bagian kiri bus ternyata kosong seperti sudah disediakan untuk Riana dan laki-laki itu. Mereka berdua tampak malu-malu dalam perbincangan yang mereka ciptakan. 

Siapa sangka, tujuan jalan mereka ternyata searah. Jalan ke rumah Riana melewati rumah Hendri. Ketika bus berhenti tepat di depan SPBU dekat rumah Hendri, Hendri tidak mau turun sendirian. Dia mengajak Riana untuk mampir ke rumahnya sebagai permintaan maaf karena tadi sudah membuatnya jatuh. Riana sudah menolak, tapi Hendri sepertinya punya karisma yang kuat sehingga Riana akhirnya mengiyakan permintaan Hendri. 

Lucu, orang tua Hendri mengira bahwa Riana adalah calon istri dan menantu yang Hendri bawa untuk keluarganya. “Maaf, Bu. Bukan. Saya baru saja kenal Hendri. Kebetulan tadi...” belum usai Riana menjelaskan, Ibu Hendri berbisik pada Hendri, “Hei, kapan kau akan melamarnya?” Hendri melebarkan bola matanya sembari tersipu melihat Riana yang juga malu-malu. “Besok hari yang baik untuk ke rumah Riana, Hen” Lontaran Ibu Hendri membuat keduanya kaget dan semakin salah tingkah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembuatan buku tabungan 300 penerima beasiswa Kip-k 2024

Pembekalan Training New members of Bidikmisi kip-k 2024

Opening Ceremony Train B Kip-k 2024